Fahrurraji Asmuni

Selasa, 06 Oktober 2009

singkong dan kelapa sawit

SINGKONG DAN KELAPA SAWIT ENERGI ALTERNATIF

Menteri Negara Riset dan Teknologi Kusmayanto Kadiman (2005)menegaskan, kemajuan teknologi kini mampu mengubah singkong dan kelapa sawit menjadi energi alternatif dalam mengatasi krisis bahan bakar minyak (BBM).

“Singkong dapat diolah menjadi bioetanol dan kelapa sawit menjadi biodiesel yang bisa dimanfaatkan dengan mencampur sepuluh persen dari keempat jenis BBM,” kata Kusmayanto Kadiman kepada wartawan di Sanur, Bali, Rabu (13/7/2005).
Sebelum membuka Pertemuan Forum Kelautan Indonesia (The Indonesia Ocean Forum 2005 and the 13th PAMS/JECSS Workshop), ia mengemukakan, pencampuran 10 persen BBM dengan bioetanol dan biodiesel sangat dimungkinkan, sesuai ketentuan yang ditetapkan internasional.

“Jika 10 persen bahan pencampuran BBM itu dapat diproduksi Indonesia, akan sangat membantu dalam menghemat penggunaan BBM,” ungkapnya.

Indonesia dalam penyusunan APBN 2005 mengalokasikan dana untuk subsidi BBM sebesar Rp 90 triliun, dengan perhitungan harga minyak di pasaran dunia 35 dollar AS per-barel.

Namun, kondisi sekarang harga minyak di pasaran dunia mencapai 60 dollar AS per-barel, sehingga akan sangat mempengaruhi subsidi keuangan negara.

Oleh sebab itu, beberapa alternatif untuk menghemat penggunaan BBM telah ditawarkan, termasuk diantaranya teknologi pengolahan singkong dan kelapa sawit.

Menristek menilai, penerapan teknologi pengolahan hasil perkebunan harus didukung oleh kebijakan pemerintah, agar kalangan swasta dan investor tertarik menerapkan teknologi tersebut.

Penerapan teknologi pengolahan singkong dan kelapa sawit sebagai bahan pencampur BBM tidak mungkin dilakukan oleh pemerintah, ujarnya, yang mengaku telah membicarakan kemungkinan menerapkan teknologi tersebut dalam rapat kabinet.

Teknologi pengolahan singkong menjadi bioetanol sebenarnya sudah diterapkan di Lampung, namun kapasitasnya masih sangat terbatas. “Produk bioetanol sebagai bahan pencampur BBM telah saya terapkan pada mobil dinas dan 30 bus karyawan, tidak ada masalah,” ujar Menristek.

Jika kedua jenis bahan pencampur BBM itu dapat diproduksi, akan mampu menghemat sedikitnya Rp 9 triliun subsidi BBM dalam setahun, demikian Kusmayanto. (Ant/wsn)
Sumber : KCM


JARAK PAGAR LEBIH EFISIEN DARI KELAPA SAWIT
jarak pagar (Jathropa curcas) menjadi sangat populer ketika menyoal energi alternatif ramah lingkungan. Biji-bijinya mampu menghasilkan minyak campuran untuk solar. Selain dari jarak pagar, pada dasarnya minyak yang dihasilkan dari tumbuh-tumbuhan dapat dijadikan bahan campuran solar, misalnya kelapa sawit atau kedelai.

Dari percobaan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), campuran solar dan minyak nabati (biodiesel) memiliki nilai cetane (oktan pada bensin) lebih tinggi daripada solar murni. Solar yang dicampur dengan minyak nabati menghasilkan pembakaran yang lebih sempurna daripada solar murni sehingga emisi lebih aman bagi lingkungan.
“Jika solar murni nilai angka cetane-nya sekitar 47, biodiesel antara 60 hingga 62,” kata Sony Solistia Wirawan, Kepala Balai Rekayasa Desain dan Sistem Teknologi BPPT di Pusat Penelitian Ilmu Penegtahuan dan Teknologi Serpong, Selasa (14/2). Dalam satu liter bahan bakar, komposisi minyak nabati yang dapat digunakan baru 30 persen agar tidak mengganggu mesin yang dipakai kendaraan sekarang. Menurutnya, di beberapa negara maju biodiesel bahkan telah digunakan 100 persen dengan modifikasi mesin. Bahan-bahan dari karet diganti dengan sintesis viton yang tahan minyak.
Meskipun percobaan baru dilakukan untuk minyak nabati dari bahan kepala sawit, menurut Soni, hal tersebut dapat dilakukan juga untuk minyak jarak. Minyak mentah hasil perasan biji kering akan diolah dengan proses trans-esterifikasi menggunakan metanol untuk memisahkan air. Reaksi tersebut tergolong sederhana dan hanya diperlukan sekitar 10 persen metanol. Hampir 100 persen minyak dapat dimurnikan, bahkan menghasilkan produk samping gliserol yang juga bernilai ekonomi.
“Satu pabrik ukuran kecil yang ada di Serpong dapat menghasilkan 1,5 ton minyak perhari,” kata Soni. Meskipun demikian, pihaknya sedang mengembangkan mesin pengolah berkekuatan berkapasitas lebih kecil maupun besar untuk kalangan industri. Biaya investasi untuk mesin saja diperkirakan sekitar 800 juta, sedangkan untuk mesin berkekuatan 3 ton perhari mungkin mencapai 2 hingga 3 miliar.
“Secara teknis prosesnya tidak jauh berbeda dengan pengolahan minyak goreng,” katanya. Hanya saja, pasokan bahan baku minyak nabati jumlahnya masih terbatas. Kelapa sawit masih ekonomis diolah menjadi minyak goreng meskipun minyak mentahnya (CPO) yang berkualitas rendah berpotensi untuk diolah menjadi biodiesel.
Jika dibandingkan, jarak pagar mungkin lebih berpotensi daripada kelapa sawit. Jarak pagar yang dapat ditemukan di berbagai wilayah Indonesia baru digunakan sebagai pagar hidup. Tumbuhan bergetah ini dapat tumbuh di mana saja, hidup di berbagai kondisi tanah, dan tahan kekeringan, tidak seperti kelapa sawit, yang membutuhkan lahan khusus, ketinggian daerah, dan faktor iklim tertentu. Oleh karena itu, para peneliti BPPT berharap bahwa pengembangan jarak pagar tidak diarahkan untuk merelokasi lahan subur, namun memberdayakan lahan kritis.
“Produktivitasnya juga tidak jauh berbeda, dalam satu hektar lahan dapat dihasilkan sekitar 5 ton minyak pertahun,” kata Nadirman Haska, Kepala Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT. Satu hektar lahan mampu menghasilkan 25 ton tandan kelapa sawit segar yang dapat diolah menjadi 5 ton CPO sejak tahun ketiga hingga usia produktif 20 tahun.
“Dengan luas lahan yang sama, saya perkirakan dapat ditanam 2.500 batang jarak pagar,” kata Nadirman. Sejak usia 5 hingga 8 bulan, buahnya matang sehingga di tahun pertama pun hasilnya dapat dinikmati. Meski demikian, lanjut Nadirman, mungkin baru dihasilkan sekitar 0,5 ton minyak. Seiring tumbuhnya tanaman, produksinya diharapkan terus meningkat lebih dari 10 ton sejak tahun keenam. Usia produktif jarak pagar diperkirakan antara 20 hingga 50 tahun.
Ongkos perawatan untuk tanaman liar ini juga lebih murah. Nadirman memperkirakan hanya perlu 20 hingga 25 persen pendapatan dari hasil produksinya yang dipakai. Sedangkan untuk kelapa sawit, biaya operasionalnya 40 hingga 50 persen dari besar pendapatan produksinya.
Pada dasarnya pembibitan dapat dilakukan secara generatif atau vegetatif. Namun, pembibitan generatif menggunakan biji tidak disarankan karena menurunkan sifat genetik berbeda, sedangkan dengan stek atau kultur jaringan sifat-sifat unggul dapat dipertahankan pada keturunannya.
Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT telah mengembangkan proses pembibitan sederhana yang dapat dilakukan siapa pun dengan sedikit latihan. Bahkan telah disiapkan cairan nutrisi tanaman untuk mencegah mortalitas (kegagalan) bibit dan merangsang pertumbuhannya dari proses penyiapan hingga siap tanam di ruang terbuka.
Selain itu, teknik kultur jaringan yang membutuhkan teknik lebih rumit di laboratorium terus dikembangkan, termasuk menyiapkan pohon induk yang memiliki sifat-sifat genetik baik yaitu menghasilkan biji besar, buah banyak, dan masa tanam cepat. (Wah)
Sumber : KCM

Rabu, 21 Januari 2009

Makalah Mahriani (Guru SD).

Meningkatkan Kualifikasi Pendidikan Guru SD

BAB I

PENDAHULUAN

Masalah dan Latar Belakang Masalah

Kalau kita amati kegiatan proses belajar-mengajar yang ada di Sekolah Dasar. Dalam kegiatan tersebut diterapkan sistem guru kelas, di mana seseorang guru ditugaskan untuk mengajar di kelas tertentu (Kelas I,II,III, IV,V, dan VI) Dia harus bisa mengajar berbagai mata pelajaran, kecuali mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Jasmani dan Kesehatan. Kalau dia ditugaskan mengajar di kelas V, setiap hari dia mengajar di kelas V. Tidak seperti di SMP atau SMA, guru diberi tugas sebagai guru vak/ mata pelajaran. Kalau dia mengajar sejarah, di kelas mana ada pelajaran sejarah, di kelas tersebutlah dia mengajar. Jadi, dalam kegiatan belajar-mengajar , guru bias terfokus pada salah satu mata pelajaran yang menjadi keahliannya.

Dapat dibayangkan bahwa guru yang mengajar di Sekolah Dasar (SD) mempunyai beban yang sangat berat dalam kegiaatn belajar-mengajar. Dia harus menguasai berbagai macam mata pelajaran dan mengajarkannya di kelas dan siswa-siswanya merasa jenuh diajar dan dididik oleh satu orang guru.

Ditinjau dari kegiatan belajar-mengajar yang dilaksanakan sebenarnya kurang efektif dan efisien karena melihat system guru vak / mata pelajaran yang diterapkan di SMP dan SMA, guru dapat merencanakan,melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan belajar-mengajar dengan baik. Bayangkan guru kelas yang merencanakan, melaksanakan, dan ,engevaluasi kegiaatn belajar-mengajar dari berbagai macam mata pelajaarn, apakah dia bias dengan baik melakukan pekerjaan itu ?

Melihat kenyataan di atas bahwa system pengajaran dan pendidikan di Sekolah Dasar perlu diubah dan disempurnakan untuk meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di negara kita. Sebenarnya standar nilai kelulusan di negara kita masih

rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga di lingkungan ASEAN. Standar rata-rata kelulusan di negara kita sekarang adalah 5,0, di Singapura 8, di Malaysia,8 di Thailand 7,5. Jadi, kita jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara tersebut ditinjau dari standar rata-rata nilai kelulusan siswa di SMP dan SMA, dan ini berdampak pada sector-sektor lain, misalnya tingkat kesejahteraan rakyat negara tersebut lebih tinggi dari negara kita.

Pada tahun 2008 nanti Sekolah Dasar diwajibkan untuk mengikuti Ujian Akhir Nasional yang meliputi mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia , dan Ilmu Pengetahuan Alam (science). Dalam rangka mengahadpi UAN tersebut dari sekarang guru-guru Sekolah Dasar disiapkan menjadi guru vak/ mata pelajaran. Persiapan yang akan dilaksanakan sebenarnya mengandung beberapa permasalahan seperti :

1. Kualifikasi pendidikan mereka masih rendah

2. Mereka bingung menentukan mata pelajaran yang dipegang

3. Memerlukan waktu yang cukup lama

4. Banyak guru yang sudah sarjana ingin mutasi atau pindah ke SMP

BAB II

PERMASALAHAN

Perumusan Masalah

Dari masalah dan latar belakang masalah , maka masalah-masalah tersebut dirumuskan sebagai berikut :

1. Kualifikasi pendidikan mereka masih rendah

Kebanyakan guru-guru Sekolah Dasar masih berijazah SPG dan KPG, sedikit sekali yang berpendidikan PGSD dan Sarjana. Perubahan guru kelas menjadi guru mata pelajaran dilaksanakan secara bertahap, misalkan dari SD yang ada di kota kabupaten dahulu , karena kualifikasi pendidikannya banyak yang masih rendah memerlukan penyesuaian secara bertahap.

2. Mereka bingung menentukan mata pelajaran yang dipegang

Perubahan guru kelas menjadi guru mata pelajaran pada mulanya akan membuat kebingungan mereka karena biasanya memegang beberapa mata pelajaran, sekarang diharapkan pada satu mata pelajaran. Mereka bingung menentukan mata pelajaran yang akan dipegang ,kecuali yang sudah sarjana, misalkan sarjana matematika.

3. Memerlukan waktu yang cukup lama , karena seharusnya mereka sarjana (S-1) sesuai bidang studinya, tetapi karena belum sarjana mereka harus kuliah dulu ke S-1

4. Banyak guru yang sudah sarjana ingin mutasi atau pindah ke SMP

Bagi yang sudah sarjana kebanyakan ingin pindah ke SMP sebelum perubahan sistem pengajaarn dan pendidikan di Sekolah Dasar (SD)

BAB III

PEMBAHASAN

Pemecahan Masalah

Dari perumusan masalah di atas, maka masalah-masalah tersebut dapat dipecahkan sebagai berikut :

1. Kualifikasi pendidikan guru SD harus ditingkatkan ke S-1

Guru-guru SD masih banayk yang berlatar belakang pendidikan SPG, KPG, dan PGSD (D II)Mereka kalau ingin mengajar / memegang mata pelajaran tertentu, mereka harus spesialis dalam mata pelajaran tersebut. Untuk mencapai spesialisasi mereka harus sarjana pada mata pelajaran tertentu.

Jadi perubahan system pengajaran guru kelas menjadi guru mata pelajaran harus diiringi dengan peningkatan kualifikasi pendidikan dari SPG, KPG, dan D II PGSD ke Strata 1 (S-1 )

2. Mereka harus menjadi sarjana atau lulus S-1 dahulu

Kalau guru tersebut sudah meningkatkan kualifikasinya ke S-1 berarti mereka sudah memilih jurusan apa yang diminatinya, mereka sudah mempunyai latar belakang kesarjanaan pada bidang studi tertentu, misalnya sarjana pendidikan Biologi. Jadi, mereka tidak bingung lagi karena sudah dibekali dengan mata pelajaran khusus yang dipegangnya.

Dengan adanya mata pelajaran tertentu yang diajarkannya di muka kelas akan memudahkan murid dalam menyerap pelajaran, belajar tidak bosan karena setiap pergantian mata pelajaran guru yang mengajar berbeda-beda sesuai dengan jam pelajarannya.

3. Pemerintah membuat proyek peningkatan kualifikasi pendidikan guru SD

Supaya peningkatan kualifikasi ke S-1 dapat berjalan dengan cepat dan massal pemerintah membuat proyek peningkatan kualifikasi pendidikan ke S-1 bagi guru-guru SD. Guru-guru wajib mengikutinya dan biaya ditanggung proyek.

Jadi, mereka bias dengan cepat menyesuaikan pendidikannya dengan gratis. Kalau pemerintah tidak berusaha memikirkan dan peningkatan kualifikasi pendidikan ini maka akan berjalan dengan lambat karena yang ingin kuliah harus mengeluarkan biaya sendiri dan ini akan membebani mereka karena kesejahteraannya masih rendah ditambah denagn kewajiban kuliah dengan biaya sendiri.

4. Pemerintah Daerah, khususnya Dinas Pendidikan melarang guru-guru SD yang sudah sarjana untuk pindah ke SMP.

Seandainya banyak guru yang sudah sarjana pindah ke SMP, siapa lagi yang akan melaksanakan system pengajaran guru mata pelajaran di SD. Selanjutnya pemerintah juga memotivasi mereka supaya tetap mengajar di SD dengan meningkatkan kesejahteraan mereka. Jadi, mereka tidak terpengaruh untuk pindah mengajar ke SMP, karena mengajar di SD atau di SMP sama saja sebaagi guru mata pelajaarn tertentu.

B IV

P E N U T U P

A. Kesimpulan

Dari pemecahan masalah di atas dapat ditarik kesimpulan, yaitu :

1. Kualifikasi pendidikan guru-guru yang rendah harus ditingkatkan dengan cara mewajibkan mereka minimal berpendidikan sarjana.

2. Mereka harus mempunyai kualifikasi pendidikan mata pelajaarn tertentu, karena mereka mengajar mata pelajaran yang menjadi keahliannya.

3. Dalam rangka percepatan peningkaatn kualifikasi pendidikan ini pemerintah harus membuat proyek peningkatan kualifikasi pendidikan ke S-1

4. Dinas Pendidikan di daerah melarang guru-guru yang sudah sarjana untuk mutasi/ pindah dari SD ke SMP

B. Saran-Saran

1. Kepala Sekolah supaya memotivasi guru-guru untuk meningkatkan kualifikasi pendidikannya ke S-1 melalui swadanaatau ikut proyek pemerintah.

2. Dalam menentukan jurusan yang akan dipegamng/dipilih guru harus membuat berbagai pertimbangan.

3. Kalau pem,erintah membuka kesempatan untuk peningkaatn kualifikasi pendidikan melalui suatu proyek utamakan guru-giru yang masih muda jangan guru-guru yang mau pensiun.

AFTAR PUSTAKA

1. Moh.Uzer Usman , 2001, menjadi guru professional, Bandung : Remaja Rosdaakarya

2. T. Rakayoni, 1980, Pengelolaan Kelas, P3G Jakarta : Depdikbud

3. A.Suryani,1983, membuat siswa aktif belajar, Bandung : Bina Cipta

4. A. Samana,1994, profesionalisme keguruan, Yogyakarta :Kanisius.